Selasa, 23 September 2014

Menyempurnakan Formula DAU sebagai Alokasi Penunjang Kehidupan Otonomi Daerah

Sudah 1 (satu) dasawarsa lebih Indonesia telah melaksanakan desentralisasi fiskal, sebagai bagian dari "Big Bang Policy" Indonesia dalam melahirkan Otonomi Daerah. Hal ikhwal kenapa disebut sebagai "Big Bang Policy"adalah terjadinya perubahan kebijakan yang sangat mendasar dan drastis dari sebuah negara dengan sistem kebijakan sentralisasi berubah drastis menjadi negara yang mengedepankan desentralisasi.

Desentralisasi inilah yang akhirnya mengurangi pengaruh pemerintah pusat di daerah secara signifikan baik dalam hal pengelolaan dan pengambilan kebijakan di daerah maupun dalam hal pengelolaan pendapatan dan belanja daerah. Hanya 6 urusan saja yang tidak di daerahkan yaitu : pertahanan dan keamanan, agama, fiskal dan moneter, kehakiman dan urusan luar negeri. Di luar dari 6 urusan tersebut diserahkan pengaturan dan pelaksanaan kepada daerah.

Bukan hanya kewenangan saja melainkan juga pembagian sebagian pendapatan negara kepada daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan dan tata kelola di daerah dalam bentuk dana transfer. Saat ini sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 diterjemahkan dana transfer terdiri dari dana perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil) dan Dana Otonomi Khusus. Seiring dengan berjalannya waktu komponen dana transfer bertambah yaitu Dana Penyesuaian ( Dana Insentif Daerah, Tambahan Penghasilan Guru PNSD, Tunjangan Profesi Guru PNSD, Bantuan Operasional Sekolah)

Dari komponen-komponen tersebut Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi terbesar dari dana transfer. Sesuai dengan UU Nomor 33 tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 disebutkan bahwa formula DAU :

DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal

Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal

Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah + #Indeks Kemahalan Konstruksi + #Indeks Pembangunan Manusia + #Produk Domestik Regional Bruto)

Kapasitas Fiskal = Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil

Proporsi DAU Nasional terbagi menjadi 10 persen dialokasikan untuk Provinsi dan 90 persen dialokasikan untuk Kabupaten/Kota

Berkaca dari Pengalaman, Ketentuan dalam Undang-Undang dan Kenyataan di Lapangan, dapat kami sampaikan beberapa point sebagai dasar perubahan atas formula DAU :
  1. Jumlah Provinsi di Indonesia saat ini 34 Provinsi dan 505 Kabupaten/Kota ( persentase dari segi jumlah Provinsi = 6,3 persen dan Kabupaten/Kota = 93,7 persen)
  2. Kewenangan Provinsi tidak sebesar sebelum otonomi daerah, disamping itu provinsi tidak memiliki wilayah.
  3. Pertumbuhan jumlah Kabupaten/Kota lebih banyak jika dibandingkan pertumbuhan jumlah Provinsi
  4. Beberapa daerah menerima perlakuan khusus dalam hal pendanaan misalnya Otonomi Khusus Papua, Otonomi Khusus Aceh dan Dana Keistimewaan DIY
  5. Karakteristik Provinsi, Kabupaten dan Kota berbeda, sehingga formula DAU nya harus disesuaikan karakteristik masing-masing
  6. Sisa Anggaran Lebih dinilai cukup tinggi mengendap di Rekening Kas Umum Daerah  yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.
 Berdasarkan dari fakta-fakta diatas dapat kami sampaikan formula DAU sebagai penyempurnaan :

ALTERNATIF PERTAMA
  1. Proporsi DAU dibagi menjadi 7.5% untuk Provinsi, 75% untuk Kabupaten dan 17,5% untuk Kota 
  2. Formula DAU dibuat dalam 3 model yang berbeda sesuai karakteristik dasar masing-masing kelompok yaitu ( Formula DAU untuk Provinsi, Formula DAU untuk Kabupaten dan Formula DAU untuk Kota)

DAU Provinsi
  • DAU Pr = Alokasi Dasar + Celah Fiskal 
  • Alokasi Dasar = Belanja Gaji PNSD proyeksi 1 tahun + Kebijakan Kepegawaian (Kenaikan Gaji dan Formasi CPNSD - proyeksi PNSD yang pensiun
  • Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
  • Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah +  #Indeks Kemahalan Konstruksi + #Produk Domestik Regional Bruto)
  • Kapasitas Fiskal =  (Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil + Dana Otonomi Khusus/Istimewa + Sisa Anggaran Lebih)
Keterangan : jika dibandingkan dengan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
  1. Komponen variabel yang dihilangkan adalah #Indeks Pembangunan Manusia
  2. Komponen variabel yang dimasukkan adalah Dana Otonomi Khusus/Istimewa, Sisa Anggaran Lebih, dan proyeksi PNSD yang pensiun
 DAU Kabupaten
  • DAU Kabupaten = Alokasi Dasar + Celah Fiskal
  • Alokasi Dasar = Belanja Gaji PNSD proyeksi 1 tahun + Kebijakan Kepegawaian (Kenaikan Gaji dan Formasi CPNSD- proyeksi PNSD yang pensiun)
  • Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
  • Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah + #Indeks Kemahalan Konstruksi + #Indeks Pembangunan Manusia + #Tingkat Inflasi Daerah)
  • Kapasitas Fiskal =  (Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil + Sisa Anggaran Lebih)
Keterangan : jika dibandingkan dengan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
  1. Komponen variabel yang dihilangkan adalah #Produk Domestik Regional Bruto
  2. Komponen variabel yang dimasukkan adalah #Tingkat Inflasi Daerah, Sisa Anggaran Lebih dan proyeksi PNSD yang pensiun
 DAU Kota
  • DAU Ko = Alokasi Dasar + Celah Fiskal 
  • Alokasi Dasar = Belanja Gaji PNSD proyeksi 1 tahun + Kebijakan Kepegawaian (Kenaikan Gaji dan Formasi CPNSD- proyeksi PNSD yang pensiun)
  • Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
  • Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah + #Indeks Pembangunan Manusia + #Produk Domestik Regional Bruto + #Tingkat Inflasi Daerah)
  • Kapasitas Fiskal =  (Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil + Sisa Anggaran Lebih)
 Keterangan : jika dibandingkan dengan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
  1. Komponen variabel yang dihilangkan adalah #Indeks Kemahalan Konstruksi
  2. Komponen variabel yang dimasukkan adalah #Tingkat Inflasi Daerah, Sisa Anggaran Lebih dan proyeksi PNSD yang pensiun
ALTERNATIF KE DUA
  1. Proporsi DAU dibagi menjadi 7% untuk Provinsi, 75% untuk Kabupaten dan 18% untuk Kota 
  2. Formula DAU dibuat dalam 3 model yang berbeda sesuai karakteristik dasar masing-masing kelompok yaitu ( Formula DAU untuk Provinsi, Formula DAU untuk Kabupaten dan Formula DAU untuk Kota)
  3. Menghilangkan Alokasi Dasar guna mengurangi bias formula karena adanya indikasi bahwa komponen Alokasi Dasar yang tidak lain adalah Belanja Gaji PNSD daerah dinilai dis insentif terhadap perhitungan DAU jikalau diperhitungkan tersendiri diluar dari perhitungan Celah Fiskal 
DAU Provinsi
  • DAU Pr = Celah Fiskal 
  • Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
  • Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah + #Indeks Kemahalan Konstruksi + #Produk Domestik Regional Bruto + #Belanja Pegawai)
  • Kapasitas Fiskal =  (Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil + Dana Otonomi Khusus/Istimewa + Sisa Anggaran Lebih)

Keterangan : jika dibandingkan dengan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
  1. Komponen variabel yang dihilangkan adalah Alokasi Dasar dan #Indeks Pembangunan Manusia
  2. Komponen variabel yang dimasukkan adalah #Belanja Pegawai, Dana Otonomi Khusus/Istimewa dan Sisa Anggaran Lebih
DAU Kabupaten
  • DAU Ka = Celah Fiskal
  • Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
  • Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah + #Indeks Kemahalan Konstruksi + #Indeks Pembangunan Manusia + #Tingkat Inflasi Daerah + #Belanja Pegawai)
  • Kapasitas Fiskal =  (Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil + Sisa Anggaran Lebih)
Keterangan : jika dibandingkan dengan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
  1. Komponen variabel yang dihilangkan adalah Alokasi Dasar, #Produk Domestik Regional Bruto
  2. Komponen variabel yang dimasukkan adalah #Tingkat Inflasi Daerah, #Belanja Pegawai, Sisa Anggaran Lebih
DAU Kota
  • DAU Ko = Celah Fiskal 
  • Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal
  • Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (#Jumlah Penduduk + #Luas Wilayah + #Indeks Pembangunan Manusia + #Produk Domestik Regional Bruto + #Tingkat Inflasi Daerah + #Belanja Pegawai)
  • Kapasitas Fiskal =  (Pendapatan Asli Daerah + Dana Bagi Hasil + Sisa Anggaran Lebih 
Keterangan : jika dibandingkan dengan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
  1. Komponen variabel yang dihilangkan adalah Alokasi Dasar, #Indeks Kemahalan Konstruksi
  2. Komponen variabel yang dimasukkan adalah #Tingkat Inflasi Daerah, #Belanja Pegawai, Sisa Anggaran Lebih  
Demikianlah 2 (dua) alternatif besar yang bisa dijadikan pertimbangan dalam rangka penyempurnaan formula DAU dalam rangka menjawab tantangan besar di era Otonomi Daerah yaitu Horizontal Imbalance (Ketimpangan) antar Daerah terutama pada bidang keuangan serta Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

(dari Aditya Nuryuslam 3 Oktober 2014 ... untuk Indonesia yang lebih Baik)



Minggu, 31 Agustus 2014

Menaikkan harga BBM bukanlah satu-satunya cara Mengurangi beban Subsidi BBM dalam APBN


Beberapa minggu terakhir ini di berbagai media sangat gencar pemberitaan terkait Pro dan Kontra rencana kenaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) di tanah air. Mendasarkan kepada beban yang semakin berat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pos pembiayaan Subsidi BBM, mendorong sejumlah kalangan mendesak kepada Pemerintah via Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk menaikkan harga BBM sebelum masa pemerintahannya berakhir.

Banyak kalangan "mencibir" desakan tersebut, hal ini dikaitkan dengan suhu politik pasca Pilpres yang masih cukup hangat serta persiapan pergantian pucuk pimpinan negeri ini, menganggap bahwa desakan atau himbauan atau permintaan itu lebih beraroma politis ketimbang sisi ekonomisnya. 

Pada forum ini kita tidak akan membahas lebih detail terkait sisi politik dari desakan atau himbauan untuk menaikkan harga jual BBM. Sebagai bagian dari warga negara kami berupaya memberikan solusi-solusi yang tepat dan jitu dalam rangka mengurangi beban subsidi BBM dalam APBN sekarang dan di masa mendatang .

Beberapa point usulan yang bisa didiskusikan untuk ditelaah lebih lanjut adalah sebagai berikut :

  1. Menaikkan harga jual kendaraan bermotor
  • Sudah sepantasnya pemerintah mulai mengambil kebijakan pengendalian jumlah kepemilikan dan penjualan kendaraan di dalam negeri. Sebagai faktor utama penyedot BBM di tanah air adalah semakin banyaknya jumlah kendaraan di tanah air. Salah satu cara mengurangi jumlah peredaran kendaraan di tanah air adalah menaikkan harga jual kendaraan bermotor atau menaikkan besaran PPN dan/atau PPN- BM sehingga dengan sendirinya mendongkrak harga jual kendaraan bermotor sekaligus menambah pendapatan negara dari sektor pajak guna meningkatkan kuantitas dan kualitas pembangunan di nusantara.
  1. Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  • Kurang lebih hampir sama dengan ide menaikkan harga jual kendaran dengan menaikkan PPN dan/atau PPN-BM. Sedikit berbeda dengan konsep diatas, dimana kenaikkan PKB ini secara tidak langsung dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Kenaikan PKB lebih kepada memberikan dampak positif terhadap penerimaan di daerah karena PKB adalah bagian dari Pajak Daerah atau lebih tepatnya Pajak Provinsi. Tujuan menaikkan PKB sendiri juga berdampak langsung terhadap pengendalian jumlah kendaraan bermotor, sehingga membuat masyarakat akan berfikir dua tiga kali untuk membeli kendaraan bermotor dalam jumlah yang banyak. Jumlah kendaraan bermotor yang semakin terkontrol jumlahnya dipastikan akan mampu mengurangi jumlah permintaan BBM 
  1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas Transportasi Massal
  • Asumsi berfikirnya adalah dengan semakin bagus kuantitas dan kualitas transportasi masal maka akan semakin mengurangi jumlah masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Konsep yang sangat bagus namun perlu dukungan yang kuat baik dari niat maupun finansial dari pemerintah untuk mewujudkannya. MRT, Busway, Monorail dan Commuter Line apabila bisa diintegrasikan serta dibangun dengan bagus serta diimbangi jumlah armada yang banyak niscaya akan mampu mewujudkan tujuan utamanya yaitu menggantikan transportasi yang layak dan mampu diandalkan mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang beredar di jalanan.
  1. Menekan Jumlah Kendaraan Dinas dan Menggantinya dengan Uang Transpor
  • Sudah bukan rahasia lagi dimana kendaraan dinas di Indonesia baik di pusat maupun daerah sangat banyak jumlahnya. Konsumsi BBM yang ditanggung pemerintah pastilah juga banyak, belum lagi biaya perawatan yang pastinya akan membebani APBN. Ada sebuah ide yang cemerlang yaitu kendaraan dinas dikurangi jumlahnya secara signifikan dan bagi PNS digantikan dengan uang transportasi yang bisa digunakan sebagai kompensasi untuk membayar tiket transportasi masal. Secara perhitungan uang pengganti transpor dengan pengadaan kendaraan dinas plus biaya perawatan dan BBM pastilah sebanding untuk mengurangi beban dalam APBN.
  1. Membangun Pabrik Pengolah Minyak
  • Proyek prestisius yang cukup menguras uang negara namun menurut pendapat kami, itulah harga yang harus dibayar guna mendapatkan keuntungan dimasa mendatang. Selama ini kita terbuai dengan cerita bahwa Nusantara ini adalah negeri penghasil Migas, namun kita sering lupa bahwasanya Migas yang diambil dari bumi Nusantara mayoritas tidak diolah lagi di dalam negeri namun dijual dalam bentuk Migas mentah ke luar negeri dan kita (terpaksa) membeli Migas olahan dari negara lain. Untuk itu sudah saatnya kita membangun pabrik pengolahan Migas dengan harapan mengurangi beban belanja Migas siap pakai dari negara lain dan secara prinsip ekonomi pastilah mampu mengurangi besar beban subsidi BBM dalam APBN.
  1. Membatasi Umur Kendaraan 
  • Mau tidak mau, suka tidak suka pemerintah haruslah mulai membuat kebijakan pembatasan umur kendaraan. Selain tidak irit, kendaraan lama berpotensi membuat kemacetan kalau tau-tau mogok dijalanan. Oleh sebab itu perlu kiranya ada pembatasan umur kendaraan yang laik untuk beroperasi di jalanan, misalnya batas usia 30 tahun, berarti mobil-mobil diatas umur 30 tahun dari sekarang harus di re ekspor atau dijadikan besi tua. Selain mengurangi jumlah kemacetan di jalan kebijakan ini juga akan mengurangi jumlah pemakaian BBM.
  1. ERP (Electronic Road Pricing)
  • Terakhir, mulai dibuat ERP untuk ruas-ruas jalan yang memungkinkan dan berpotensi macet. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kemacetan juga biang pemborosan BBM, oleh karena itu perlu kiranya dibuat kebijakan ERP pada ruas-ruas jalan yang berpotensi macet dan secara tidak langsung akan mengurangi jumlah pembuangan BBM yang tidak efektif di jalan.
Demikian beberapa masukan kami terkait kiat-kiat atau cara-cara (lain) guna mengurangi beban subsidi BBM dalam APBN, semoga berguna bagi kita semua dan menjadikan masukan bagi para pengampu kebijakan dan kewenangan di bumi Nusantara ini.

ex: foto sumber : www.solopos.com

Minggu, 26 Januari 2014

Cara-Cara Jitu dan Sederhana Menanggulangi Banjir

Bulan Januari hingga Maret mayoritas wilayah Indonesia diprediksi akan menhadapi musim hujan, dengan intensitas yang cukup tinggi. Di bulan Januari saja kita sudah cukup tersibukkan dengan dampak negatif diakibatnya hujan yang turun hampir setiap harinya, banyak daerah-daerah yang mengalami kebanjiran minimalnya akses jalan-jalan mulai tergenang oleh air.

Banjir sepertinya akan menjadi momok tahunan bagi sebagian wilayah Indonesia dan ini jika tidak kita tanggulangi sedini mungkin akan membawa dampak negatif yang cukup signifikan terutama bagi kelangsungan perekonomian. 

Beberapa hal yang bisa kita lakukan secara pribadi atau komunal untuk mengurangi dampak banjir kedepan dapat kita sarikan sebagai berikut :
  1. Membuang sampah pada tempatnya, baik dalam skala kecil (rumah tangga) ataupun skala besar perlu sedini mungkin dibenahi, kita mulai dari sekarang berupaya membuang sampah pada tempatnya, jangan lagi membuang sampah di got, kali ataupun sungai. Sampah dalam skala besar akan lambat laun menjadikan pendangkalan sungai (yang secara sunatullah tempat air mengalir), selain itu sampah juga berpotensi menyempitkan lebar kanal sungai. Oleh sebab itu kita antisipasi dengan kesadaran secara komunal membuang sampah pada tempatnya akan mengurangi beban sungai/kali sehingga volume tampungan air di sungai/kali tetap terjaga dan mampu menampung air hujan secara maksimal.
  2. Mulai membuat sumur resapan di setiap rumah, sumur resapan ini selain membantu menjaga kuantitas air dalam tanah, juga mampu mengurangi jumlah air yang terbuang sia-sia ketika hujan. Apabila semua perumahan baru dan/atau yang lama diwajibkan membuat sumur resapan, bisa dipastikan air hujan akan terminimalisasi terbuang dan terkonsentrasi di atas permukaan tanah. 
  3. Menambah ruang hijau, selain menambah area penangkap gas-gas buang yang tidak berguna dan mengubahnya menjadi oksigen yang lebih sehat, ruang hijau juga berpotensi menjaga iklim tetap kondusif, ruang hijau dengan metode penanaman lahan-lahan publik berpotensi menjadi sarana penangkap air sehingga air hujan bisa terserap ke dalam tanah dan bermanfaat bagi kelestarian pohon-pohon.
  4. Pembangunan dan revitalisasi waduk/situ juga bisa menjadi pilihan pemerintah untuk menanggulangi limpahan air hujan.
  5. Reboisasi di hulu dan di muara sungai, menjaga coverage area penanaman kembali di daerah hulu sungai dan peningkatan intensitas penghijauan di muara/bibir pantai, selain menahan luncuran atau kiriman air hujan dari hulu sungai, juga menahan air laut pasang di pantai.
  6. Merevitalisasi sungai/kanal/kali dan waduk/situ dengan jalan pengerukan dan membersihkan bantaran sungai dan waduk/situ dari agresi pemukiman-pemukiman baik itu liar ataupun yang berijin.
  7. Merelokasi  pemukiman yang berada di daerah banjir dan mengalihfungsikan menjadi ruang hijau atau revitasisasi sungai/waduk.
Demikian beberapa hal yang bisa kita laksanakan secara pribadi, ataupun langkah-langkah yang bisa diambil pemerintah dalam upayanya mengurangi bahkan menghilangkan banjir di Indonesia.

sumber foto : resapanbiopori.blogspot.com